BAB
I
PENDAHULUAN
Seorang
dapat dinyatakan sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang
bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari
nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari
orang lain. Lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari
dari usia manusia sebagai makhluk hidup yang terbatas oleh suatu putaran alam
dengan batas usia 55 tahun / lebih.
Hipertensi
atau tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah
yang sering terdapat pada usia pertengahan atau lebih, yang ditandai dengan
tekanan darah lebih dari normal. Hipertensi menyebabkan perubahan pada pembuluh
darah yang mengakibatkan makin meningkatnya tekanan darah.
Dari banyak
penelitian epidemiologi didapatkan bahwa dengan meningkatnya umur hipertensi
menjadi masalah pada lansia karena sering ditemukan pada lansia. Pada lansia
hipertensi menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit jantung koroner.
Lebih dari separuh kematian di atas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit
jantung dan serebrovaskular. Secara nyata kematian akibat stroke dan morbiditas
penyakit kardiovaskuler menurun dengan pengobatan hipertensi
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Pengertian
Hipertensi
adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg dan tekanan
diastolik sedikitnya 90 mmHg. Penderita hipertensi beresiko tinggi menderita
penyakit jantung, penyakit saraf, ginjal dan pembuluh darah. Makin tinggi
tekanan darah, makin besar resikonya (Price 2006, h.582).
Hipertensi
merupakan gangguan kesehatan yang ditandai adanya tekanan sistolik >140 mmHg
dan tekanan diastolik >90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi
didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg.
(Smeltzer,2001)
Hipertensi
adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan
nutrisi, yang dibawa oleh darah, terhambat sampai ke jaringan tubuh yang
membutuhkannya (Vitahealth 2004, h.2).
B.
Etiologi
Hipertensi
pada lansia dapat disebabkan oleh interaksi bermacam-macam faktor, antara lain:
1.
Kelelahan
2.
Proses penuaan
3.
Keturunan
4.
Diet yang tidak seimbang
5.
Stress
6.
Sosial budaya
Penyebab
hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan–perubahan
pada :
1.
Elastisitas dinding aorta menurun
2.
Katub jantung menebal dan menjadi kaku
3.
Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap
tahun sesudah berumur 20 tahun. Kemampuan jantung memompa darah menurun
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
4.
Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi
karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
5.
Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.
Meskipun
hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data
penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya
hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Faktor
keturunan
Menurut data
dari statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar
untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
2.
Ciri perseorangan
Ciri
perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
a.
Umur (jika umur bertambah maka TD meningkat)
b.
Jenis kelamin (laki-laki lebih tinggi dari perempuan)
c. Ras (ras
kulit hitam lebih banyak dari kulit putih)
3. Kebiasaan
hidup
Kebiasaan
hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
a.
Konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr)
b.
Kegemukan atau makan berlebihan
c.
Stress
d.
Merokok
e.
Minum alcohol
f.
Minum obat-obatan (ephedrine, prednison, epineprin)
Sedangkan
penyebab hipertensi sekunder adalah :
1.
Glomerulonefritis
2.
Pielonefritis
3.
Nekrosis tubular akut
4.
Tumor
5.
Vascular
6.
Aterosklerosis
7.
Hiperplasia
8.
Trombosis
9.
Aneurisma
10. Emboli
kolestrol
11. Vaskulitis
12. Kelainan
endokrin
13. DM
14. Hipertiroidisme
15. Hipotiroidisme
16. Saraf
17. Stroke
18. Ensepalitis
19. SGB
20. Obat–obatan
21. Kontrasepsi
oral
22. Kortikosteroid
C.
Klasifikasi
Klasifikasi
hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar
yaitu :
1.
Hipertensi essensial (hipertensi primer) yaitu
hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
2. Hipertensi
sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
Berdasarkan
klasifikasi dari JNC-IV maka hipertensi pada usia lanjut dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis, yaitu :
1.
Hipertensi sistolik saja (isolated
systolic hypertension)
Terdapat
pada 6-12% pada penderita diatas usia 60 tahun, terutama pada wanita. Insiden
meningkat dengan bertambahnya umur.
2.
Hipertensi diastol (diastolic
hypertension)
Terdapat
pada 12-14% penderita diatas usia 60 tahun, terutama pada pria. Insiden menurun
dengan bertambahnya umur.
3.
Hipertensi sistolik – diastole
Terdapat
6 – 8% penderita usia lebih dari 60 tahun, lebih banyak pada wanita. Meningkat
dengan bertambahnya umur.
(Darmojo 2004, h.397)
D.
Tanda
Dan Gejala
Menurut
Setiawan (2008, h.17) dan Vitahealth (2005, h.12) tanda dan gejala hipertensi
yang umum muncul baik pada lansia atau bukan lansia adalah sebagai berikut :
1. Sakit
kepala, Pusing (sakit kepala sebelah, sakit kepala seluruhnya, kepala berdenyut
seperti ditusuk-tusuk, melayang, vertigo).
2. Pandangan
mata kabur bahkan bisa sampai buta.
3. Komplikasi
berat seperti sesak nafas hebat, pingsan akibat stroke.
4. Sulit
bernapas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat atau mudah lelah.
5. Sering
buang air kecil, terutama dimalam hari.
6. Telinga
berdenging (tinitus).
7. Jantung
berdebar-debar.
8. Kaki
bengkak.
9. Wajah
memerah.
10. Mimisan.
11. Mual,
muntah.
12. Pelupa.
E.
Patofisiologi
Hipertensi
dapat dipengaruhi oleh volume sekuncup, resistensi perifer total (TPR), dan
kecepatan denyut jantung (Corwin 2009, h.489). Peningkatan salah satu dari tiga
variabel yang tidak dikompensasikan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi.
Peningkatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan saraf simpatis atau
hormonal yang abnormal pada nodus SA (Corwin 2009, h.485). Impuls yang
berkaitan dengan tekanan darah diintegrasikan di otak yang berada di formasio
retikularis dan terletak di medula oblongata bagian bawah dan pons yang
merupakan pusat kontrol kardiovaskuler (Muttaqin 2009, h.14).
Kontrol
sistem persarafan terhadap tekanan darah di otak melibatkan baroreseptor dan
serabut-serabut aferennya, pusat vasomotor, dan serabut vasomotor di medula
oblongata dan otot polos pembuluh darah (Muttaqin 2009, h.14). Pusat vasomotor
yang mempengaruhi diameter pembuluh adalah pusat vasomotor yang merupakan
kumpulan serabut saraf simpatis. Pusat vasomotor dan pusat kardiovaskuler
bersama-sama meregulasi tekanan darah dengan mempengaruhi curah jantung dan
diameter pembuluh darah. Pusat vasomotor mengirim impuls secara tetap melalui
serabut efferen saraf simpatis (serabut motorik) yang keluar dari medula
spinalis pada sekmen T1 sampai L2 dan masuk menuju otot polos pembuluh darah
dan yang terpenting adalah pembuluh darah arteriol, akibatnya pembuluh darah
arteriol hampir selalu dalam keadaan kontriksi sedang (Muttaqin 2009, h.15).
Price
dalam Muttaqin (2009, h.15) mengatakan bahwa, derajat konstriksi setiap organ
bervariasi, umumnya pembuluh darah arteriol kulit dan sistem pencernaan
menerima impuls vasomotor lebih sering dan cenderung berkontriksi lebih kuat
dibandingkan pembuluh arteriol pada otot rangka. Peningkatan aktivitas simpatis
menyebabkan vasokontriksi menyeluruh dan dapat meningkatkan tekanan darah.
Sebaliknya, penurunan aktivitas simpatis memungkinkan relaksasi otot polos
pembuluh darah dan menyebabkan penurunan tekanan darah sampai pada nilai basal.
Kontriksi
dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak.
Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah
ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang
serabut saraf paska ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti
kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap
rangsang vasokonstriktor (Smeltzer 2002, h.898).
Pada
saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
aktivitas vasokonstriksi meningkat. Medula adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid
lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah.
Vasokonstriksi dapat mengakibatkan penurunan aliran
darah ke ginjal sehingga menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II yang
merupakan vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air
oleh tubulus ginjal, sehingga meningkatkan volume intravaskuler dan menyebabkan
tekanan darah meningkat (Smeltzer 2002, h.899).
F.
Penatalaksanaan
1. Pencegahan
Primer
Faktor
resiko hipertensi antara lain: tekanan darah diatas rata-rata, adanya
hipertensi pada anamnesis keluarga, ras (negro), tachycardi, obesitas dan
konsumsi garam yang berlebihan dianjurkan untuk:
a.
Mengatur diet agar berat badan tetap ideal juga untuk
menjaga agar tidak terjadi hiperkolesterolemia, Diabetes Mellitus, dsb.
b.
Dilarang merokok atau menghentikan merokok.
c.
Merubah kebiasaan makan sehari-hari dengan konsumsi
rendah garam.
d.
Melakukan exercise untuk mengendalikan berat badan.
2. Pencegahan
sekunder
Pencegahan
sekunder dikerjakan bila penderita telah diketahui menderita hipertensi berupa:
a.
Pengelolaan secara menyeluruh bagi penderita baik
dengan obat maupun dengan tindakan-tindakan seperti pada pencegahan primer.
b.
Harus dijaga supaya tekanan darahnya tetap dapat
terkontrol secara normal dan stabil mungkin.
c.
Faktor-faktor
resiko penyakit jantung ischemik yang lain harus dikontrol.
d.
Batasi aktivitas.
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan
dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
1.
Terapi tanpa obat
Terapi
tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai
tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini
meliputi :
a. Diet
Diet yang
dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah : Restriksi garam secara moderat
dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr, diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak
jenuh, penurunan asupan etanol, menghentikan merokok.
b. Latihan
Fisik
Latihan fisik
atau olah raga seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain. Intensitas
olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari
denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar antara
20 – 25 menit berada dalam zona latihan Frekuensi latihan sebaiknya 3 x
perminggu dan paling baik 5 x perminggu.
c. Edukasi
Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk
penderita hipertensi meliputi :
1) Tehnik
Biofeedback
Biofeedback
adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda
mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal.
Penerapan biofeedback terutama
dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga
untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
2) Tehnik
relaksasi
Relaksasi adalah
suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau
kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot
dalam tubuh menjadi rileks.
3) Pendidikan
Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan
pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang
penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan
hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
2.
Terapi dengan obat
Palmer
dan Williams (2007, h.25) mengatakan
bahwa, obat hipertensi dapat dibagi sebagai berikut :
a. Diuretik
(misalnya Chortalidaone,
Bendroflumethiazide).
Menurunkan
tekanan darah dengan bekerja pada ginjal. Diuretik menyebabkan ginjal
mengeluarkan kelebihan garam dalam darah melalui urin. Hal ini mengurangi
volume cairan dalam sirkulasi dan kemudian menurunkan tekanan darah.
b. Alfa-bloker
(misalnya Doxazosin, Terazosin).
Menurunkan
tekanan darah dengan memblokade reseptor pada otot yang melapisi pembuluh
darah. Jika reseptor tersebut diblokade, pembuluh darah akan melebar
(berdilatasi) sehingga darah mengalir dengan lebih lancar dan tekanan darah
menjadi menurun.
c. Beta-bloker
(misalnya Atenol, Bisoprolol).
Menurunkan
tekanan darah dengan memperlambat kekuatan kontraksi jantung. Dengan demikian,
tekanan yang disebabkan oleh pompa jantung juga berkurang. Beta-bloker juga
memperlambat (mendilatasi) pembuluh darah dengan mempengaruhi produksi hormon
renin yang mengurangi resistensi sistemik, sehingga jantung dapat bekerja lebih
ringan.
d. Bloker
kenal kalsium (misalnya Amlodipine,
Felodipine).
Menurunkan
tekanan darah dengan memblokade masuknya kalsium ke dalam sel. Jika kalsium
memasuki sel otot, maka otot akan mengalami kontraksi. Dengan menghambat
kontraksi otot yang melingkari pembuluh darah, pembuluh akan melebar sehingga
darah dapat mengalir dengan lancar dan tekanan darah dapat menurun.
e. Inhibitor
ACE (Angiotensin-Converting Enzyme).
Bekerja
memblokade produksi hormon angiotensin II yang menyebabkan konstriksi pembuluh
darah. Dengan demikian, obat ini dapat memperlebar pembuluh darah.
f. Bloker
reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor Blocker, ARB).
Bekerja dengan cara yang sama
seperti inhibitor ACE yaitu yang memblokade efek konstriksi dan angiotensin II. Berbeda dengan inhibitor
ACE yang memblokade produksi angiotensin
II, ARB bekerja dengan memblokade pengikatan angiotensin ke spesifiknya,
bukan mengurangi produksi angiotensin.
Oleh karena itu angiotensin tidak
dapat menyebabkan konstriksi pembuluh darah, maka pembuluh darah akan melebar
(berdilatasi) dan tekanan dalam sistem sirkulasi menjadi berkurang.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI
A. Pengkajian Individu Lansia
Pengkajian yang harus dilakukan pada
pasein lansia dengan hipertensi meliputi :
1.
Identitas : nama, umur, pendidikan,
pekerjaan.
2.
Riwayat sosial
Pada riwayat social hal-hal yang perlu
dikaji meliputi hubungan lansia dengan
keluarga dan teman, kemampuan lansia untuk melakukan aktifitas sehari-hari, pengaturan hidup, status ekonomi,
aktifitas sosial dan hobi.
3.
Riwayat
Kesehatan :
a.
Riwayat penyakit masa lalu
Pada pengkajian ini biasanya ditemukan
data lansia mempunyai riwayat penyakit hipertensi atau penyakit-penyakit lain
yang dapat menimbulkan masalah pada lansia.
b.
Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian ini biasanya
ditemukan keluhan dari lansia, seperti
pusing,pandangan mata kabur, telinga berdenging, jantung berdebar-debar, kaki
bengkak, mimisan, mual & muntah, pelupa, TD lebih dari 140/80 mmHg.
c.
Persepsi tentang kesehatannya
Pengkajian ini dilakukan untuk
mengetahui bagaimana pandangan lansia tentang kesehatannya, kondisi fisik
maupun psikisnya.
d.
Kebiasaan dalam pemenuhan kebutuhan
Dalam kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan
dasar lansia sering ditemukan bahwa lansia dalam memenuhi kebutuhan nutrisinya
biasanya mengalami gangguan, lansia tidak mau
makan karena mual & muntah. Untuk pemenuhan kebutuhan pola eliminasi
pada lansia biasanya juga mengalami gangguan,seperti BAK lebih dari 5-6
kali/hari ataupun BAB lebih dari 3 kali/hari. Dalam pemenuhan kebutuhan pola
aktivitas dan istirahat lansia biasanya juga mengalami masalah, seperti lansia
susah untuk tidur karena pusing yang dialami lansia saat TD meningkat di atas
normal, aktivitas lansia menjadi terbatas karena tanda gejala hipertensi yang
dialami lansia.
e.
Perubahan fungsi tubuh
Pada lansia biasanya mengalami
perubahan-perubahan fungsi dari tubuhnya.Biasanya pada pengkajian ini ditemukan
lansia mengalami gangguan dalam pendengaran maupun penglihatanya.
f.
Kebiasaan olah raga
Pada lansia kebiasaan olah raga biasanya
jarang dilakukan. Lansia cenderung lebih pasif untuk melakukan aktivitas
seperti olah raga. Hal inilah yang biasanya sebagai salah satu pemicu lansia
mengalami hipertensi.
g.
Kekuatan fisik
Pada pengkajian ini biasanya ditemukan
data lansia mengalami penurunan kekuatan secara fisik seperti lansia sering
mengalami kelelahan dan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas.
4.
Aspek Psikis
a. Bagaimana
lansia memandang kehidupan
Dalam hal ini, dapat dilihat bagaimana
lansia memandang kehidupan setelah menjadi lansia. Apakah memandang hidup
dengan positif atau negatif.
b. Sikap
terhadap proses menua
Dalam pengkajian ini, dilihat mengenai
penerimaan atau tidaknya lansia mengenai proses menjadi menua atau menjadi
lansia pada dirinya. Apakah lansia menerima keadaan dirinya yang menua atau
sebaliknya, tidak menerima keadaan tersebut.
c. Bagaimana
mengatasi stresor dan stres
Dapat dilihat bagaimana koping lansia
menghadapi stressor, baik stressor dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya.
d. Apa
stresor bagi lansia
Dikaji mengenai sumber stressor yang
menurut lansia dapat menjadi stressor bagi dirinya.
e. Bagaimana
konsep diri lansia
Dalam
pengkajian ini, dapat digali mengenai konsep diri pada lansia.
f. Apa
harapan sekarang dan yg akan datang
Dapat dikaji mengenai harapan – harapan
yang ingin dicapai atau didapat lansia dengan sisa umur yang masih ada.
5.
Aspek spiritual
Pada aspek spiritual pada lansia
biasanya lansia lebih cenderung untuk memenuhi kebutuhan spiritual dengan
menjalankan ibadah secara aktif.Hal ini berkaitan dengan focus lansia untuk
mengahadpi kematian.
6.
Pemeriksaan Fisik.
a. Tanda
vital
Tekanan darah biasanya lebih dari 140/80
mmhg, N : 90-100 X/menit Rr: 18-22 x/menit.
b. Status
gizi : BB, TB
Pada pengkajian ini biasanya ditemukan
data bahwa lansia mengalami gangguan dalam pemenuhan gizi lansia. BB lansia
mengalami penurunan karena nutrisi yang kurang terpenuhu dari lansia.
c. Pemeriksaan
fisik heat to toe :
1)
Integumen
Kulit keriput, permukaan kulit kasar
dan bersisik, akral dingin.
2)
Kepala
warna rambut beruban, distribusi
rambut tidak rata dan kadang mengalami kerontokan
3)
Mata
Pandangan kabur, konjungtiva tidak
anemi.
4)
Telinga
Fungsi pendengaran menghilang
5)
Mulut
dan tenggorokan
Biasanya terjadi penaggalan gigi
pada lansia, mukosa bibir kering
6)
Leher
Biasanya ditemukan peningkatan vena
jugularis
7)
Sistem
pernafasan
Pasien menggunakan pernafasan dada,
mengalami kesulitan bernafas saat melakukan aktifitas lebih.
8)
Sistem
kardiovaskular
Meningkatnya tekanan darah lebih
dari 180/80 mmhg
9)
Sistem
gastrointestinal
Lansia biasnya mengalami mual dan
muntah
10) Sistem perkemihan
BAK lebih dari 5-6 X/ hari
11) Sistem reproduksi
Pada lansia biasanya sudah mengalami
menopause. Pada lansia biasanya aktivitas seksual berkurang
12) Sistem musculoskeletal
Kifosis, pergerakan lambat, tremor,
dan kadang merasakan keram – keram pada otot.
13) Sistem persarafan
Daya ingat pasien berkurang,
berkurangnya penglihatan, menghilangnya fungsi pendengaran.
14) Sistem endokirin
Menurunnya aktifitas tiroid, menurunnya sekresi hormon
kelamin
7.
Aktivitas
Hal-hal yang perlu dikaji dalam
aktivitas lansia biasanya meliputi kemampuan lansia dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari untuk mandi, berpakaian, toileting, berpindah, continence dan
makan.
B. Diagnosa
dan Intervensi
Keperawatan
1.
Resiko tinggi terhadap penurunan curah
jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokontriksi, iskemia
miokardia, hipertrofi/rigiditas (kekakuan) ventrikular.
a.
Kriteria hasil :
1)
Tekanan darah sistolik diastolik dalam
batas normal.
2)
Denyut jantung dalam batas normal.
3)
Denyut perifer kuat dan simetris.
4)
Tekanan vena sentral dan tekanan dalam
paru dalam batas normal.
b.
Intervensi :
1)
Kaji dan dokumentasi tekanan darah,
adanya sianosis, status pernapasan dan status mental.
2)
Kaji toleransi aktivitas pasien dengan
memperhatikan awal napas pendek, nyeri, palpitasi atau pusing.
3)
Pantau denyut perifer, waktu pengisian
kapiler dan suhu serta warna ekstremitas.
4)
Pantau dan dokumentasikan denyut
jantung, irama dan nadi.
5)
Berikan informasi untuk teknik penurunan
stres, seperti biofeed-back, relaksasi otot progresif, meditasi, dan latihan.
2.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
a.
Kriteria hasil :
1)
Pasien dapat mentoleransi aktivitas yang
biasa dilakukannya.
2)
Pasien dapat menunjukkan penghematan
energi dengan menyeimbangkan antara aktivitas dan istirahat.
b.
Intervensi :
1)
Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual
terhadap aktivitas.
2)
Pantau respon oksigen pasien (misalnya,
nadi, irama jantung, dan frekuensi respirasi) terhadap aktivitas perawatan
diri.
3)
Tentukan penyebab keletihan (misalnya
karena perawatan, nyeri dan pengobatan).
4)
Instruksikan penggunaan teknik relaksasi
selama aktivitas.
3.
Gangguan rasa nyaman nyeri : sakit
kepala berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral.
a.
Kriteria hasil :
1)
Pasien akan melaporkan nyeri atau
ketidaknyamanan hilang atau terkontrol.
2)
Pasien dapat mengenali penyebab dan
menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri.
b.
Intervensi :
1)
Kaji lokasi, karakteristik, frekuensi,
kualitas dan intensitas nyeri serta faktor presipitasinya.
2)
Minta pasien untuk menilai nyeri pada
skala 0 sampai 10 (0 = tidak nyeri, 10 = sangat nyeri).
3)
Berikan informasi tentang nyeri,
penyebab nyeri, seberapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan
dari prosedur.
4)
Ajarkan pasien cara mengendalikan nyeri
sebelum menjadi berat; ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya :
relaksasi, imajinasi terbimbing, masase, kompres hangat/dingin) sebelum nyeri
terjadi atau meningkat.
4.
Resiko cedera berhubungan dengan
komplikasi hipertensi
a.
Kriteria hasil : klien akan menghindari
disfungsi sistem organ khususnya sistem kardiovaskular dan ginjal.
b.
Intervensi :
1)
Modifikasi lingkungan untuk
menghilangkan kemungkinan bahaya.
2)
Tinggikan pengaman tempat tidur.
Letakkan benda dimana klien dapat melihat dan meraihnya tanpa klien menjangkau
terlalu jauh.
3)
Bantu klien dan keluarga mengevaluasi
lingkungan yang memungkinkan bahaya.
4)
Batasi dan bantu aktivitas klien.
5.
Ketidakpatuhan yang berhubungan dengan
kebutuhan terhadap terapi antihipertensif dan kesalahpahaman bahwa terapis
tersebut dibutuhkan hanya selama periode simtomatik
a.
Kriteria hasil :
Klien
akan mematuhi terapi yang diprogramkan, yang ditunjukkan dengan tekanan darah
dalam batas nomal dan tidak ada disfungsi organ
b.
Intervensi :
1)
Jika klien di rumah, awasi apakah klien
benar-benar meminum obat-obatan yang diresepkan.
2)
Berikan obat-obatan diuretik dan
antihipertensif sesuai program
3)
Untuk mendorong kepatuhan terhadap
terapi antihipertensif, anjurkan penetapan jadwal rutin untuk minum obat.
4)
Jelaskan bahwa menghentikan terapi
obat-obatan dengan tiba-tiba adalah berbahaya. Instruksikan lansia untuk
melaporkan setiap obat.
DA FTAR PUSTAKA
Corwin,
EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, edk 3, trans. BS Nike, EGC, Jakarta.
Dalimarta, S et all 2008, Care Your Self Hepertensi, Penebar plus, Jakarta.
Darmojo, RB 2004, Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), edk 3, FKUI,
Jakarta.
Hutapea, R 2005, Sehat
dan Ceria di Usia Senja Suatu Awal Baru, Rineka Cipta, Jakarta.
Gray et all 2005, Lecture
Notes Kardiologi, edk 4, trans. A Agoes, A Dwi, Erlangga, Jakarta.
Muttaqin, A
2009, Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular, ed.N Elly,
Salemba Medika, Jakarta.
Palmer, A and Williams, B 2007, Simple Guides
Tekanan Darah Tinggi, trans. Y Elizabeth, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Perry, AG and Potter, PA 2005, Buku Ajar
Fundamental Keperawatan, vol. 1 & 2, edk 4, trans. A Yasmin et all,
EGC, Jakarta.
Price, SA 2006, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, vol. 1, EGC, Jakarta.
Smeltzer, SC and Bare, BG 2002, Buku Ajar
Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth vol. 1, edk 8, trans. Waluyo A et al, EGC,
Jakarta.
Stockslager, JL 2007, Buku Saku Asuhan Keperawatan Geriatrik, edk 2, EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar